![]() |
Dr.Socratez Sofyan Yoman |
TIRANI PENGUASA INDONESIA YANG
MENYEBABKAN TRAGEDI KEMANUSIAAN TERHADAP ORANG ASLI MELANESIA DI WEST PAPUA
SELAMA 59 TAHUN HARUS DIAKHIRI DENGAN SOLUSI REFERENDUM YANG BERMARTABAT
DIAWASI PBB
Oleh Dr. Socratez S.Yoman,MA
"Papua Adalah Luka Membusuk
di Tubuh Bangsa Indonesia.”(Prof. Dr. Franz Magnes).
ARTIKEL,DOGAIYEPOST-Pernyataan Pastor Franz Magnes
adalah benar. Karena, koflik dan tragedi kemanusiaan di Papua merupakan
kekerasan Negara terlama dan terpanjang di Asia dan Pasifik. Lima dekade lebih
sejak 1961 hingga 2020 sudah menjadi 59 tahun tirani penguasa Indonesia sudah
mengakar di Papua dan menyebabkan tragedi kemanusiaan terhadap Orang Asli Papua
yang menahun (kronis) di era peradaban moderen abad ke-21.
Wajah tirani penguasa kolonial
Indonesia di West Papua digambarkan dengan sempurna dan benar oleh ilmuwan dan
tokoh rohaniawan Kristen Katolik Prof. Dr. Franz Magnis sebagai berikut:
“Ada kesan bahwa orang-orang
Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita
teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan
kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk,
tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media
asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan
dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua,
meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi,
Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Akar Tirani dan tragedi
kemanusiaan terlama dan terpanjang dalam sejarah serta menahun di Asia dan
Pasifik itu sudah ditemukan oleh Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dalam buku Papua Road Map (2008), yang dipimpin oleh alm. Muridan S.Widjojo
bersama dengan Ibu Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan
Rosita Dewi.
Penyebab luka membusuk ditubuh
bangsa Indonesia itu sudah dibedah dan didiagnosa dengan sempurna dan benar
dari Tim LIPI. Ada empat penyakit menahun (kronis) yang ditemukan LIPI:
(1) Sejarah dan status politik
integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran
berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan
marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan
meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Jantung dari 4 akar masalah ini
ialah rasisme dan ketidakadilan. Maka kita harus
lawan Rasisme dan Ketidakadilan.
Dukung All Black Lives Matter dan West Papua Lives Matter serta Melanesian
Lives Matter.
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes
Belo, SDB, pernah menyatakan prinsip Gereja, sebagai berikut:
"Posisi Gereja Katolik di
Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat
Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja
adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap
pilihan karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan
demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat
Timor Timur." (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos
de Sousa, 1997, hal. 338).
THOMAS CH. SYUFI, AKTIFIS HAM
PAPUA pada 1 Agustus 2020 dalam topik artikelnya: "OPSI REFERENDUM, SOLUSI
DEMOKRATIS BAGI RAKYAT PAPUA" menyampaikan pikiran cerdas dan obyektif.
Saya akan kutip tujuh belas
paragraf dari tulisan Syufi. Kutipan banyak paragraf seperti ini tentu saja
dianggap plagiat atau copy paste karya orang lain. Tetapi, karena saya setuju
dengan pemikiran pak Thomas, maka saya mengutipnya sebagai bentuk mendukung
pikiran dan pendapatnya dan sekaligus memperkuat tulisan saya. Kutipan tujuh
belas paragraf sebagai berikut:
"Tentu, referendum menjadi
satu-satunya jalan terbaik untuk penyelesaian konflik di Papua. Rakyat Papua
menganggap referendum merupakan sebuah solusi demokratis untuk memecah
kebutuhan politik dan krisis kemanusiaan yang berkepajangan terjadi di Bumi
Cenderawasih sejak aneksasi 1 Mei 1963. Referendum menjadi jalan bermatabat
untuk mengakhiri ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua."
"Akar kekerasan dan
pelanggaran HAM di Tanah Papua adalah orang Papua berjuang melawan pemerintah
Indonesia untuk meraih kemerdekaan dengan cara yang santun dan bermartabat.
Namun hal tersebut cenderung ditanggapi secara vulgar dan brutal oleh
pemerintah Indonesia melalui aparat TNI-Polri. Ketika orang Papua menerikkan
identitas dan hak politiknya, mereka diitimidasi, dikejar, ditangkap,
dipenjara, dipukul, maupun dibunuh."
"Rakyat Papua tetap
konsisten berjuang untuk meraih kembali hak politik mereka yang dirampas oleh
pemerintah Indonesia melalui berbagai cara manipulatif. Sejarah masuknya Papua
ke dalam NKRI pun dinilai didistorsi. Karena secara historis, Nederlands
Niew-Guinea(atau Papua) merupakan wilayah luar negeri dari Kerajaan Belanda
dari tahun 1949 hingga 1962. Jelas, Papua bukan bagian dari wilayah koloni
Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia, tapi Papua adalah wilayah koloni
“provinsi luar negeri” Belanda yang yang berkedudukan di Holandia
Binnen(Jayapura)."
"Perjanjian New York menjadi
dasar atas pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) yang cacat hukum dan
moral karena penuh rekayasa dan di bawah tekanan militer. Paksaan dan
intimidasi mewarnai sebelum dan saat Pepera dilaksanakan. Padahal, amanat dari
Perjanjian New York, Pepera 1969 harus digelar dengan mekanisme one man one
vote atau satu orang satu suara."
"Artinya, setiap penduduk
Papua memiliki hak untuk menentukan pilihannya tanpa diwakili. Yang terjadi
adalah Pepera yang dilaksanakan menurut mekanisme Indonesia, yaitu musyawarah.
Kala itu total penduduk Papua sekitar 800 ribu jiwa, dan hanya 1.025 orang yang
ikut Pepera."
"Tidak mendasar klaim
Indonesia atas wilayah teritorial Papua. Dengan segala intrik politik Presiden
Indonesia, Soekarno—Papua harus direbut secara paksa melalui invasi
militer—yakni Trikora yang berlangsung tanggal 19 Desember 1961-15 Agustus
1962). Setelah itu, lahirlah Perjanjian New York(New York Agreement) 15 Agustus
1962 yang diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk pemindahan kekuasaan atas
Papua Barat dari Belanda ke Indonesia."
"Ketidakpuasan atas proses
Pepera 1969 ini menjadi salah satu penyebab utama gerakan perlawanan atau
resistensi rakyat terhadap pemerintah Indonesia. Rakyat Papua ingin menuntut
agar Pepera 1969 yang cacat dan illegal itu perlu direview kembali oleh
PBB."
"Namun, tuntutan ini selalu
dijawab dengan kekerasaan, berupa pengejaran, penangkapan, pemenjaraan,
penculikan, dan pembunuhan oleh aparat TNI-Polri. Pelaku delik pelanggaran HAM
selalu mendapat impunitas atau kebal hukum. Mereka bahkan justru memperoleh
kehormatan, promisi, dan kenaikan pangkat dari negara."
"Bahkan di era berlakunya
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pun
mengundang banyak masalah. Otsus yang diharapkan menjadi payung dan sombar bagi
rakyat Papua justru membawa malapetaka."
:Payung Otsus yang diklaim oleh
Jakarta sebagai jawaban atas huru-hara dan tuntutan Papua merdeka telah bolong
dari berbagai sisi dan ditembus semburat sinar matahari hingga rakyat Papua
terus tersengat. Otsus sebagai opsi politik—menyelesaikan konflik antara
pemerintah Indonesia dan rakyat Papua kini membawa dukacita dan kematian tiada
akhir di Tanah Papua."
"Spiral kekerasan di Papua
kian melonjak dan rezim Joko Widodo “Jokowi” pun ‘hobi’ mendaur ulang pola
kekerasan di Tanah Papua. Jokowi lebih suka menjalankan security approach dan
menyampingkan pendekatan humanitarian, justice, dan prosperity."
"Realitas kegagalan Otsus di
Tanah Papua itu diperlihatkan dengan sejumlah peristiwa penting dan mengenaskan,
seperti pembunuhan terhadap pemimpin politik bangsa Papua, Theys Hiyo
Eluay(Ketua Presidium Dewan Papua/PDP) pada 10 November 2001 di Alun-Alun Kota
Jayapura."
"Pembunuhan terhadap Musa
Mako Tabuni(Wakil Ketua KNPB) 14 Juni 2012 di Perumnas III, Waena, Jayapura.
Juga tragedi tertembak mati empat siswa SMA di Paniai 8 Desember 2014—yang
hingga kini pihak korban dan rakyat Papua menuntut keadilan dan penegakan hukum
atas kasus ini, tapi makin tidak jelas respon pemerintah Indonesia. Memang Apa
yang menjadi spirit dan filosofi dari amanat undang-undang Otsus Papua, seperti
proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua tak pernah
terbukti."
"Selain itu, anggaran Otsus
yang diberikan ke Tanah Papua: provinsi Papua dan Papua Barat yang berjumlah
94,24 triliun rupiah sejak tahun 2002 hingga kini belum efektif menjawab
kesejahteraan rakyat Papua. Diduga kebanyakan dana Otsus digunakan untuk pesta
pora di dunia birokrasi; belanja pegawai dan jalan dinas, serta korupsi yang
merajerela."
"Hal tersebut membuat
anggaran Otsus sukar tersalurkan dengan baik hingga ke masyarakat asli Papua di
kampung-kampung yang sebagai subjek dari Otsus itu sendiri. Misalnya,
pembangunan sekolah yang mangkrak, sekolah kekurangan guru, terbatasnya tenaga
dan fasilitas kesehatan, siswa putus sekolah karena tak ada biaya."
"Sebagian besar kekacauan
ini terjadi di era Otsus yang sejak awal digadang-gandangkan oleh pemerintah
pusat(Jakarta) sebagai opsi politik untuk menyelesaikan konflik laten rakyat
Papua dan pemerintah Indonesia."
"Jelas, Otsus sebagai solusi
telah berubah menjadi masalah, maka masalah tak bisa menyelesaikan masalah.
Karena itu, tawaran terakhir dari riwayat kegagalan Otsus di Tanah Papua adalah
referendum sebagai solusi demokratis dan bermartabat bagi penyelesaikan
kegaduhan politik dan krisis kemanusiaan yang masif dan berkepanjangan di Tanah
Papua selama sekitar 57 tahun Papua menjadi bagian dari NKRI." (Sumber:
http/www.law.justice.co).
Tirani penguasa Indonsia dan
tragedi kemanusiaan terlama dan terpanjang di Asia dan Pasifik diperkuat dengan
perintah Negara untuk Operasi
Militer di Nduga pada Desember 2018 hingga berlangsung 2020 saat ini.
Operasi militer Indonesia di
Nduga-Papua adalah perintah Negara. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko
Widodo memberikan perintah untuk TNI melaksanakan operasi.
"Tangkap seluruh pelaku
penembakan di Papua. Tumpas hingga akar” (Sumber: DetikNews/5/12/2028).
Presiden juga didukung oleh Wakil
Presiden H.Jusuf Kalla dan ia memerintahkan:
“Kasus ini ya polisi dan TNI
operasi besar-besaran, karena ini jelas mereka, kelompok bersenjata yang
menembak.” (Sumber: Tribunnews.com/6/12/2018).
Perintah operasi militer dari
Presiden Republik Indonesia didukung oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo:
“…DPR usul pemerintah tetapkan
Operasi Militer selain perang di Papua.” (Sumber: Kompas.com/13/12/2018).
Perintah operasi militer
diperkuat oleh
Menkopolhukam, H. Dr. Wiranto:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita
habisi mereka.” (Kompas.com/13/12/2018).
Sementara Kapolri Jenderal Dr.
Muhammad Tito Karnavian (sekarang: Menteri Dalam Negeri) lebih cerdas,
intelektual, rasional, berhikmat dan memberikan nasihat bijak:
“Kasus tersebut jangan dibesarkan
dinasionalisasi, karena itu yang ditunggu oleh pihak mereka (OPM). Untuk
memancing penetapan sebagai Operasi Militer melawan gerakan separatis.”
Lebih lanjut disarankan dalam
aspek historis: ” Menurut sejarah, Papua masuk ke Indonesia melalui proses
resolusi PBB. Sehingga untuk memudahkan mengangkat Papua ke Sidang PBB adalah
dengan dalil terjadinya pelanggaran HAM, terjadi pembantaian oleh militer dan
bahkan genosida.”
“Bila itu terjadi, maka
ditetapkan darurat militer, kemudian terjadi pelanggaran HAM, kemudian itu maju
ke Sidang PBB dan voting, maka dipastikan Indonesia bakal kehilangan Papua.”
(Sumber: Swararakyat.com/06/12/2018).
Dalam operasi milier Indonesia di
Nduga-Papua selama 1 tahun dan 8 bulan sejak 2 Desember 2018-Juli 2020, orang
asli Papua telah meninggal 257 orang. Jumlah ini ada yang ditembak TNI,
meninggal di hutan karena kelaparan dan meninggal di tempat penggungsian.
Pada 20 September 2020 Tentara
Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu
(20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah
dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua
Barat (TPN-PB).
Pada 19 Desember 2018, TNI
menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja
Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin
dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.
Ada kisah seorang ibu hamil yang
sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi
Indonesia Militer di Nduga.
“Saya melahirkan anak di tengah
hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal.
Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk
berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya
merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal.
Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira
dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan
membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya
dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara
laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan
itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki
tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus
menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami
mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari
Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan
Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan
yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas
tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Dalam operasi militer di Nduga,
TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo,
Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban
tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/
Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan;
(5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan
Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).
Jalan penyelesaian persoalan
tirani penguasa Indonesia dan tragedi kemanusiaan terlama dan terpanjang di
Asia dan Pasifik yang dialami Orang Asli Papua, maka para 57 Pastor Katolik
Pribumi Papua dan Dewan Gereja Papua (WPCC) berdiri dengan posisi suara
kenabian sebagai berikut:
1. Pada 21 Juli 2020 dari 57
Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH
INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA
DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media
sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah
Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang
NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
2. Dewan Gereja Papua meminta
Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk
Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969
yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16
Februari 2019).
3. Dewan Gereja Papua meminta
keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua
yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf
Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi
Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia
berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi dari Surat
tertanggal, 26 Agustus 2019)
4. Dewan Gereja Papua mendesak
Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana
Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan
yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan
perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26
Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI
dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi dari surat 13 September 2019).
Ita Wakhu Purom, Minggu, 2 Agustus 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Post a Comment