![]() |
Pamflet Aksi |
JAKARTA DOGAIYE POST-Aliansi Mahasiswa Papua di Jakarta mengeluarkan
pemberitahuan sekaligus mengundang organisasi maupun individu pro demokrasi
bahwa besok hari Selasa 14 Juli 2020 akan melakukan aksi demonstrasi dengan
unjuk rasa Menolak Otonomi Khusus Jilid II; Menggugat Hasil PEPERA 1969; serta
Menuntut berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua.
Alasan mendasar aksi tersebut adalah selama 19 tahun pemberlakuan Otonomi
Khusus dinilai tidak sama sekali menjawab persoalan rakyat Papua terutama soal
kasus-kasus HAM di Tanah Papua serta Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat
PEPERA tahun 1969 yang tidak adil, demokratis, bermartabat dan penuh kecurangan;
oleh karena itu rakyat Papua menuntut kepada negara Republik Indonesia untuk Berikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Sebagai
Solusi Demokratis Bagi bangsa Papua Barat.
Selenkapnya silahkan baca sampai habis guys. Negara Indonesia
mengklaim secara sepihak bahwa wilayah West Papua adalah bagian sah dalam
Negara Republik Indonesia, tetapi sejarah dengan tegas membuktikan sebaliknya;
Bangsa West Papua bukanlah bagian sah dari Indonesia.
Sejak West Papua mendeklarasikan
kemerdekaan sejak 1 desember 1961, namun kemerdekaan itu hanya bertahan 19
hari, karena saat itu, Soekarno mengumandangkan “Operasi Trikora” di Alun-Alun
Utara Jogyakarta, Soekarna juga membentuk operasi mandala yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto pada saat itu, dan itu sebagai malapetaka dan Awal mula Genosida bagi
papua
Disaat saat yang sama itu juga, Indonesia
mengirim militernya dalam jumlah banyak ke wilayah West Papua, tujuannya untuk
mendukung propaganda Indonesia dipanggung Internasional dan meneror serta
membunuh orang Papua yang pro kemerdekaan Papua serta dengan tujuan untuk
memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Act
of Free Choice) 14 Juli 1969 yang kemudian hari dianggap oleh orang Papua
sebagai Act Of No Choice.
Alasan penolakan orang Papua
terhadap hasil penentuan pendapat rakyat (PEPERA) sangat jelas, yaitu,
ketidak-demokratisan dalam penyelenggaraannya, dalam penyelenggeraannya sangat
bertentangan dengan hukum internasional, dimana setiap dewasa pria dan wanita
di Papua memiliki hak untuk memilih, seperti yang telah dibahas di dalam
Perjanjian New York (New York Agreement),
namun dalam pelaksanaannya Indonesia menggunakan cara lokal/curang yaitu
musyawarah dengan hanya memilih 1.025 orang yang telah dipersiapkan untuk
memilih Indonesia dan hanya 175 orang saja yang menyampaikan hak pilihnya dan
membaca teks yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu,
sedangkan populasi orang dewasa di Papua pada saat itu berjumlah 800.000
(delapan ratus ribu) jiwa.
Gelombang protes dan penolakan
atas hasil penentuan pendapat rakyat (PEPERA) terus terjadi di seluruh wilayah
West Papua, namun pemerintah Indonesia lewat militer yang telah dikirim ke
wilayah West papua menembak secara membabi buta ke arah para demonstran yang
menyampaikan aspirasinya damai, penolakan terus terjadi hingga masa berakhirnya
jenderal “Soeharto” yang kemudian ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa pro
demokrasi di Indonesia.
Namun keinginan dan tekad bulat
dari rakyat Papua untuk melepaskan diri dari pemerintah Indonesia justru
dihianati oleh cara bermain dua kaki elit politik lokal di Papua yang menghamba
kepada elit Jakarta dengan kompromi politik yang kemudian mengeluarkan “gula-gula”
berupa UU nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (OTSUS) Papua.
Otonomi khusus yang telah
berjalan selama 19 tahun telah terbukti tidak membawah perubahan apapun,
khususnya bagi rakyat Papua, kondisi objektif yang dialami rakyat Papua sangat
jauh dari kata sejahtera, berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih
terus terjadi, hak-hak dasar orang asli Papua (OAP), kondisi kesehatan dan
pendidikan yang begitu buruk menjadi bukti kuat bahwa otonomi khusus telah
GAGAL di Papua.
Post a Comment