![]() |
Doc. Pribadi. |
Oleh: Yubal Awega Nawipa
Pendahuluan
UU Nomor 21/2021 tentang Otonomi Khusus Papua merupakan perundang-undangan
yang diberlakukan Negara dalam upaya meredam suara Papua Merdeka. Karena itu Negara
berdalih dengan memberikan alternatif Otsus tujuannya menyelesaikan konflik
ketimpangan Politik, sosial dan budaya, juga dalam rangkah membangun
kepercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Pusat yang sudah lama hilang akibat
integrasi Papua kedalam bingkai Indonesia yang sepihak tersebut puncaknya telah
menimbulkan dikotomi yaitu kubuh yang menerima integrasi dan kubuh yang tidak
menerima integrasi. Keadaan ini berlangsung selama rezim Soekarno dan masih
berlanjut di rezim Soeharto yang identikan dengan otoriter sentralistis tersebut
runtuh pada 21 Mei 1998. Kedua kubuh tersebut
masih belum juga padu tetap mempertahankan argumentasi masing-masing sampai masa
otonomi khusus sekarang.
Tetapi pasca peristiwa tumbangnya rezim Seoharto tersebut telah membawa
perubahan fundamen, akhirnya bangsa Indonesia mendapatkan udara segar dengan
lahirnya demokrasi, artinya yang tadinya dikekang sekarang tidak lagi, kedaulatan
penuh ada pada rakyat sehingga punya
kesempatan berpendapat menyampaikan hak politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hal
itu juga menjadi momentum bagi orang Papua bersama tokoh gereja, adat,
perempuan dan mahasiswa Papua membentuk forum independen diberi nama Forum
Rekonsiliasi Rakyat Irian (Foreri) selanjutnya dijuluki “tim 100” kembali
menyuarakan perbaikan ketertinggalan pembangunan serta menyampaikan pernyataan
politik rakyat Papua meminta Presiden B.J. Habibie menyelesaikannya dalam
bentuk mekanisme perundingan secara demokratis dan bermartabat. Untuk merespon reaksi
ini Indonesia sebaliknya melakukan infiltrasi operasi langsung dan tidak
langsung, dalam operasi ini Indonesia berhasil
menggugurkan nyawa orang Papua pascareformasi seperti: 1). Pembunuhan Theys Hiyo Eluay Ketua
Presidium Dewan Papua (PDP) 10 November 2001; 2). Kasus Wamena 6 Oktober 2000; 3).
pengibaran bendara Bintang Kejora diatas
menara PDAM di Biak 6 Juli 1998 dan masih banyak kasus-kasus kekerasan.
UU Otsus memuat berbagai harapan dan cita-cita demi memperbaiki kondisi ketertinggalan,
keterbelakangan, keterisolasian, karenanya Indonesia membuka ruang ini agar
orang Papua percaya sama Pemerintah Pusat
dengan wacana grand desain berkelanjutan yaitu pembangunan kesejahteraan
yang orang Papua melihatnya penuh provokatif ini. Orang Papua berkeyakinan
bahwa, sampai kapanpun tidak akan tercapai cita-cita dan harapannya, selama Papua
berstatus dijajah. Sebab sesungguhnya tidak ada kesejahteraan dalam negara
penjajah.
Selama negara memakai pendekatan
sekuritisasi atau TNI/Polri dalam pembangunan akan jauh lebih buruk hingga
turun-temurun. Saat ini diketahui bahwa aktor kerusuhan dan bentrokan semakin
deras. Benar yang diprediksikan oleh orang Papua bahwa otsus berubah sedemikian
rupa menjadi jembatan mulus bagi para imigrasi termasuk keluar masuknya minuman
keras, obat-obat terlarang kesemuannya ternyata bersumber dari negara melalui
pihak TNI/Polri menciptakan pintu pemusnahan etnis Melanesia. Wajar, apabila
Papua dijadikan sebagai tempat Daerah Operasi Militer dalam rangka pencaharian
kenaikkan pangkat melalui mengkambinghitamkan nyawa orang Asli Papua.
Akar Konflik Papua
Pulau yang sekarang kita sebut Papua sebelumnya memiliki banyak nama yang
berbeda-beda dari pangkuan ke pangkuan penjajahan.
Zaman Belanda menyebut Nieuw Guinea,
pada masa integrasi 1963 menjadi Irian Barat, Pada era orde baru 1970 sampai
reformasi 2000 menyebutnya dengan Irian Jaya, dan kini masa otsus 2001 menjadi
Papua adalah daerah konflik sejak prakemerdekaan Indonesia, hal ini semakin
mengkristal dan kemudian disusul juga dengan aneksasi Papua secara sepihak
melalui pembicaraan trilateral Belanda,
Indonesia dan Amerika (PBB) tanpa elit Papua saat itu. Akhirnya West Papua
berhasil diserahkan kepada pemerintah Indonesia oleh pemerintah interim United
Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) PBB pada 1 Mei 1963 peristiwa ini menyebabkan
sampai sekarang konflik di Papua tidak juga surut bahkan melahirkan
pemberontakan fisik maupun non fisik oleh karena perbedaan persepsi mulai
ketika terjadi penyatuan Papua kedalam Indonesia, itulah yang menyebabkan Papua
menjadi luka membusuk di tubuh Indonesia.
Orang Papua Tidak Percaya
Pemerintah Indonesia
Rasa ketidakpercayaan (disturst) orang
Papua terhadap Pemerintah bukan muncul setelah melihat dampak otsus baik atau
buruknya namun sudah lama bahkan sebelum Indonesia merdeka. Perjalanan panjang
antara pemerintah Indonesia dan Papua dalam konflik mengenai politik, ekonomi,
sosial dan budaya akhirnya melahirkan rasa tidak percaya terhadap pemerintah
Indonesia. Berbagai motif konflik telah melahirkan respon balik yang berkecondongan negatif terhadap orang Papua
di semua bidang.
Tidak usah mundur 20thn ke belakang, di masa otsus ini orang/kelompok yang
nekat memperjuangkan keadilan, kebenaran, hak politik, ekonomi, budaya,
kepemilikan atas tanah, air, hutan dengan menggelar aksi demonstrasi sebagai
warga negara sangat rumit dan sulit mendapatkan jaminan keamanan. Hal inilah
yang orang Papua bertanya mana keberpihakan pemerintah pusat dalam kerangka negara
demokrasi.? Demokrasi dan Otsus Papua dimadulkan oleh Jakarta akibatnya orang Papua tidak
percaya pemerintah Indonesia. Orang Papua tidak percaya karena seketika
menuntut menuntaskan pelanggaran HAM selalu direspon dengan berbagai stigma:
separatis, gerakan pengacau keamana (GPK), monyet, tikus dan bahkan dijadikan
sampah, aparat negara melakukan tindakan represif fisik dan nonfisik serta kekerasan terhadap orang/kelompok reaksioner
tetapi juga kepada rakyat sipil terutama anak-anak sekolah sekalipun.
Salah satu contoh ketidakpercayaan orang Papua kepada pemerintah Indonesia
tampak dari penolakan dalam upaya jalur dialog atau perundingan Indonesia dan Papua
supaya melalui dialog tumbuh saling menghargai dan tidak saling mencurigai
antara kedua belah pihak untuk membangun perdamaian di Papua. Pemerintah
Indonesia selalu keliru dalam melibatkan satuan keamanan dan militer dalam
jumlah yang tidak sedikit datang kemudian menjelma berpura-pura menjadi karyawan infrastruktur jalan,
kemudian tiba-tiba menjadi guru di sekolah ibarat Harimau yang tunggu mangsanya
itulah skenario buruk sebab ketika rakyat sipil Papua yang mencurigakan melewati
tempat ini maka terjadilah penembakan terhadap warga sipil Papua tersebut. Hal
semacam ini tidak jarang terjadi sehingga ada baiknya di negara yang menganut
konsep pemerintahnya triaspolitika(Pembagian
Kekuasaan) mestinya pandai membedakan ruang main diantara Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif.
Keterlibatan TNI & Polri
dalam pembangunan
Intervensi pihak TNI/Polri dalam pembangunan di Papua menyebabkan terjadinya
instabilitas politik, sosial dan budaya mengakibatkan kemiskinan struktural,
terlihat karena rendahnya pendidikan, buruknya kesehatan, hancurnya identitas
lokal pada akhirnya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) karena hari-hari dimanapun
mereka tinggal kemanapun mereka pergi selalu dihantui dan diintai-intai oleh
satuan Polisi dan Militer. Fenomena ini
menimbulkan dengan eskalasi kekerasan
struktural, pembunuhan, penganiayaan, penangkapan, pemerkosaan; kekerasan
langsung dan kekerasan struktural ini membuahkan kekerasan kultural, kekerasan ini
sebagai motor dari kekerasan struktural dan kemiskinan struktural yang kemudian
muncul kebencian, kecurigaan, ketakutan dan beragam stigma terhadap orang asli
Papua. Disinilah awal-mula munculnya ketidakpercayaan orang Papua kepada
TNI/Polri. Ditengah keadaan yang seperti ini TNI/Polri punya peluang menerapkan devide et empire (politik adu
domba) metode yang identik pada zaman penjajahan Hindia Belanda di Pulau Jawa, siasat
yang tepat bertujuan memecah bela persatuan.
Usaha friksi yang demikian sudah sedang
dialami rakyat Papua sejak masa orla, orba bahkan di era otsus, negara hadir dengan
tekanan sistem koloni yang berbeda setiap dekade, otomatis dampaknya
diskriminasi dan marginalisasi manusia terus mencuat, kekayaan alamnya
dieksploitasi tanpa digodok dampaknya. Salah negara adalah mengapa sengketa
status politik Papua yang merupakan akar konflik dari semuanya ini
tidak pernah singgung mencari solusi untuk menyelesaikannya seharusnya tidak
hanya meneban batang pohonnya tapi mencabutnya mencabut dengan seluruh akar
konfliknya seperti yang Indonesia buat terhadap Aceh supaya kedepan tidak
timbul ketimpangan (gap) dan kerusuhan. Siapapun kita semua, mengharapkan hidup tenteram antara Indonesia
dan Papua sebagai negara tentangga yang harmonis. Apabila indonesia tidak menelaah akar konfliknya maka orang Papua memandang dibalik
pemberian otsus negara menyimpan suatu siasat yang paling kejam dan luar biasa
buruk. Sekarang orang Papua paham rancangan Jakarta adalah pencitraan dalam
kerangka penjajahan, jadi betul sesungguhnya tidak ada kesejahteraan dalam
negara penjajahan.
Biasanya negara, dalam hal ini militer dan kepolisian mengklaim negaranya
adalah negara Pancasila yang mencakup dimensi realitas, idealitas dan
fleksiblitas mereka bersumpa bawa datang dengan nilai-nilai tersebut tetapi
rupanya sampai di Papua mereka lupa hal semacam itu dan menerapkan beragam
kekerasan. Aparat negara hadir dengan dalih-dalih yang inkonsisten; Pertama, demi membela diri, alasan ini
muncul ketika TNI Polri yang bertugas di Papua selalu muncul curiga dan waspada
memandang orang Papua sebagai sumber ancaman karena kebanyakan orang indonesia
menilai dari bentuk fisik/luar contoh ketika ada wartawan berambut kribo
meliput berita, atau orang yang bicara lantang mengenai sejarah Papua langsung
dicap OPM/GPK tanpa identifikasi. Atau contoh lain, pada waktu mahasiswa Papua
dan kaum peduli kemanusiaan melakukan demonstrasi damai tak jarang mendapatkan
stigma dengan ujaran rasial dan hal negatif lainnya sehingga tidak mendapatkan
jaminan keamanan, implikasinya peningkatan pelanggaran HAM; Kedua, mengatasnakan kepentingan negara,
TNI & Polri memanfaatkan negara demi keutuhan dan kepentingan pribadi di dalam
perjuangan politik papua “dijadikan tempat mencari jabatan” ada beberapa daerah Papua yang sering terjadi
bentrok/insiden ternyata otaknya adalah pihak yang mengklaim menjaga pertahanan
dan keamanan, mereka dengan sengaja ciptakan konflik dalam rangkah meraih
pangkat yang lebih besar dari sebelumnya; ketiga,
kepentingan bisnis, oleh elit politik dan pemerintah serta elit keamanan
dalam pembangunan sehingga orang Papua bilang “otonomi khusus gagal.” Nyatanya benar,
karena Otsus diberikan kepada orang Papua tapi uangnya dikucurkan kepada
non-Papua akibatnya belum menyentuh pada sasaran kesejahteraan.
Selama puluhan tahun ini indonesia belum mampu mengidonesiakan orang Papua
padahal berbagai cara Presiden berserta antek-anteknya berkeringat berjuang
menebarkan persuasif propaganda manis terhadap pejuang diplomasi dan gerilya
akan tetapi tak pernah berhasil membawa mereka pada jalannya Indonesia
akibatnya rakyat menjadi sasaran/target utama mengorbankan nyawa rakyat sipil
Papua. Orang Papua tidak percaya Indonesia dengan segala upaya Jakarta yang mau
mencuri, memusnahkan, menghilangkan, menghabiskan manusia dan alamnya.
Belakangan ini Indonesia sempat
memperlihatkan kegagalannya atau ketidakmampuannya ditandai dengan TNI/Polri
menggerogoti/Menjelma menjadi guru pangajar
di kelas meski bukan profesinya ‘aneh
tapi nyata’ hal ini mengindikasikan bahwa indonesia gagal membangun
nasionalismenya secara represi fisik (senjata) sehingga indonesia melancarkan
represi psikis kepada anak-anak muda terutama di bangku SD dan sederajatnya. Akankah
anak-anak ini tergiur dengan nasionalisme NKRI? Tidak! Mereka bahkan lebih mengetahui arti dari penjajahan ini. Mereka hanya bisa terganggu psikologinya. “Sesungguhnya
tidak ada kesejahteraan dalam negara penjajahan”
Kesimpulan
Karena akar masalahnya ada didepan mata, dan sudah jelas, maka dapat mengusulkan
bahwa Indonesia segera mengundang dua Organisasi perjuangan Papua Merdeka, yakni
United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPNPB) untuk melakukan dialog berunding sesuai format
LIPI “dialog sebagai solusi penyelesaian
konflik Papua” (Papua Road Map 2011) dengan dimediasi pihak netral yang
berpengalaman dan independen.
Ada hal yang perlu dipahami oleh semua orang ialah masalah di Papua itu dikelompokkan
dalam dua bagian besar dengan metode penyelesaiannya berbeda yakni permasalahan
pembangunan dan permasalahan status politik Papua. Konflik pembangunan mencakup
ketimpangan kesejahteraan, sosial, budaya, Pelanggaran HAM, kekerasan diskriminasi
dan marginalisasi.
Konflik ketimpangan kesejahteraan dan kekerasan diskriminasi dan
marginalisasi ini bisa menyelesaikan melalui pendekatan pengadilan HAM atau kebijakan pembangunan
didalam kerangka OTSUS atau Program percepatan pembangunan lainnya.
Sedangkan koflik Politik ialah mengenai pelurusan sejarah Papua dan gerakan
nasionalisme Papua.Tetapi yang menghambat perudingan dialog adalah orang Papua sendiri
atas perbedaan persepsi secara vertikal yakni pemerintah dengan rakyat dan
horizontal yaitu pejuang Papua maupun antarfaksi yang sampai sekarang belum ada
kesamaan persepsi dan belum ditemukan kata sepakat diantara organ-organ
perjuangan Papua Merdeka karena itu menimbulkan keraguan pemerintah Indonesia
dalam memproses dialog Jakarta-Papua.
Frans Pekey dalam bukunya “[Papua Mencari Jalan Perdamaian 2018]”
menawarkan Dialog inklusif proporsional sebagai
pendekatan alternatif yang efektif. Konsep dialog inklusif proprosional merupakan
dialog yang mencerminkan pelibatan pihak atau elemen terkait khususnya mereka
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dan pihak yang menerima dampak
konflik, tetapi dilakukan secara
terpisah antara akar konflik politik dan akar konflik pembangunan sosial budaya.
Dengan menata kelola semua hasil dialog secara proporsional dan konsisten
menurut akar konfilnya, niscaya akan terwujud perdamaian menyeluruh di Papua,
sebagai capaian akhir dari proses menelisik konflik demi resolusi konflik
Papua. Solution dialog politik
membicarakan akar konflik politik Papua dengan itu, Indonesia dapat
mengungkapkan kebenaran sejarah integrasi Papua sehingga kesepakatan yang
dihasilkan melalui dialong politik ini menjadi pengakuan kebenaran. Dengan pelurusan
sejarah integrasi politk ini Indonesia harus memastikan diri bahwa siap
menerima kebenaran sebagai kesalahan masa lalu noda hitam bangsa Indonesia
terhadap bangsa Papua sehingga
memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan
menyelenggarakan REFERENDUM digunakan metode Obligatori..
Referensi:
Frans Pekey.2018. Papua Mencari Jalan
Perdamaian: Telaah Konflik Dan Resolusi Di Bumi Cenderawasih.Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.
Post a Comment